Rangkaian Kasus Suap Ekspor Benur Edhy Prabowo Sudah Jelas, KPK Tak Butuh Panggil Antam Novambar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak membutuhkan keterangan dari Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar dan Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf dalam kasus yang menjerat eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Hal tersebut lantaran rangkaian kasus dugaan suap penetapan izin ekspor benih bening lobster (benur) yang menjerat Edhy Prabowo sudah cukup jelas. "Sebenarnya enggak perlu panggil Irjen (Irjen KKP, Muhammad Yusuf) dan Sekjen (Sekjen KKP, Antam Novambar) pun cukup karena rangkaian aliran dari administrasi sudah jelas," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/3/2021).
Terlebih, lanjut Karyoto, berkas perkara Edhy Prabowo sudah P21 atau dinyatakan lengkap. "Hari ini sudah P21 (tahap II, penyerahan tersangka Edhy Prabowo dan barang bukti) ke JPU (Jaksa Penuntut Umum) untuk segera disidangkan," katanya. Sebelumnya KPK mengagendakan pemeriksaan terhadap Antam dan Yusuf pada Rabu (17/3/2021).
Akan tetapi, hanya Yusuf yang memenuhi panggilan penyidik. Sementara Antam beralasan sedang berada di luar kota pada waktu tersebut. Edhy Prabowo menjelaskan alasan pemilihan staf khusus dirinya ketika menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Mereka yang berada di lingkarang Edhy Prabowo dipilih karena alasan politis dan balas budi. Edhy Prabowo menyampaikan hal itu saat menjadi saksi di sidang perkara dugaan suap izin ekspor benur dengan terdakwa Suharjito, Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (17/3/2021). Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulanya bertanya mekanisme penunjukan staf pembantu untuk Edhy Prabowo.
Jaksa bertanya apakah pemilihan itu dasari pada mekanisme tertentu atau langsung ditunjuk. "Nama nama yang kemudian diangkat sebagai staf khusus saudara artinya itu apakah usulan anda sendiri atau ada rapat internal dahulu?" tanya jaksa. Edhy mengakui menunjuknya secara langsung.
Tiga orang staf pembantu menteri seperti Safri Muis, Putri Catur, dan TB Yanuar ditunjuk sebagai staf ahli karena dinilai berperan besar membantunya saat duduk di kursi Ketua Komisi IV DPR RI. "Saya mengajak saudara Safri Muis, Saudri Putri, dan TB Yanuar karena dulu sewaktu saya jadi anggota DPR RI selama tiga periode, di periode ke dua mereka membantu saya menjadi ketua komisi IV DPR RI," kata Edhy. Sehingga saat dirinya diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Presiden Joko Widodo, ia mengusulkan nama nama tersebut kembali ikut bersamanya membantu di kementerian.
"Mereka membantu saya disemua kegiatan di sektor ini. Sehingga ketika saya menjadi menteri saya coba mengusulkan nama nama ini bisa diterima untuk bisa dijadikan staf khusus," jelasnya. Sedangkan staf khusus atas nama Andreau Misanta Pribadi ditunjuk Edhy karena alasan politis. Sebab Andreau merupakan tim sukses kubu Joko Widodo.
Edhy yang berasal dari Partai Gerindra yang mana pada Pilpres 2019 kemarin adalah lawan pasangan calon Jokowi Ma'ruf Amin berharap dengan penunjukan orang dari kubu Jokowi, bisa menghilangkan kesan menguasai setelah dirinya diminta menjabat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. "Sementara secara politis untuk supaya saya sebagai menteri kebetulan dari pasangan nomor urut dua yang seolah olah mengambil porsi seolah olah kita semua yang menguasai," katanya. Dalam perkara suap ini, KPK menetapkan total tujuh orang tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih. Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Suharjito didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada Edhy. Suap diberikan melalui perantaraan Safri dan Andreau Misanta selaku staf khusus Edhy, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy yang juga anggota DPR RI Iis Rosita dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK). Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito. Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy. PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor. Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21 23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy. Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.